A word by Roy Genggam

16.25 rah[ma.ut]ami 0 Comments

Setelah sekian banyak episode *maksud saya edisi The Light Magazine yang mengendap di hardisk saya, akhirnya saya mulai membacanya 1 demi satu. Betul-betul dibaca, bukan sekedar scroll atas bawah liat gambar dan baca beberapa quote. Diutamakan artikel yang menarik, atau yang lebih saya cari informasinya. Dan betapa terkejutnya saya ketika membaca 1 artikel lawas dari Roy Genggam pada edisi 10/2008.


Saya sangat suka perkataan beliau mengenai “9 dari 10 fotografer adalah anak orang kaya, hanya 1 yang anak orang miskin yaitu saya”. Saya soalnya merasakan hal yang serupa *sejak dulu. Saya pokonya bertekad dari jaman baru belajar fotografi, saya gamau kepentok di alat *kalo mau tau perjuangannya, bisa baca di artikel puanjang sebelumnya. Dan disini, hingga saat ini saya ngerasa alat-alat foto itu mahalnya luar biasa dan saya gidamnya juga luar bisa. Cuma bisa ikut senang kalo ada temen beli, artinya say bisa pinjem :D Mkanya saya selalu men-treatment dengan baik benda2 yang saya pinjam, biar gak di black list, hehe..bisa kacau nantinya.


Di artikel ini entah kenapa saya merasa sangat sepemikiran dengan beliau. Pasalnya, semakin saya mencoba menggali, semakin saya belajar foto, semakin saya mencoba memahami lighting , yang ada hanyalah kebingungan yang makin akut. Mana foto yang bagus, mana pencahayaan yang benar, dan selanjutnya bagaimana foto yang benar. Pertama kali saya diajari lighting adalah mengenai bagaimana membuat dimensi dari benda, misalkan wajah. Bayangan bukanlah musuh, namun tak mesti dihindari pula. Yang ktia butuhkan adalah gradasi bayangan yang halus sehingga membuat shape yang diinginkan. Hindari lighting yang deferensiasi terang-gelapnya tajam. Hal ini umumnya berlaku di foto beauty. Lebih jauh adalah pahami karakter lighting, implementasi lighting terhadap material, penggunaan material berpengaruh pada karakter lighting yang digunakan. Ininya sih lighting yang tepat untuk saat yang tepat. Tapi misalkan, 1 saja, beauty. Yang saya ungkapkan sebelum ini adalah prinsip saya mengenai beauty shoot, tapi makin hari saya makin buyar. Banyak kok fotografer yg hasil fotonya gak gitu, banyak malah yang fotogafer terkenal papan atas. Banyak yang foto beauty bayangannya’ngejeblak’ tegas item gitu tapi toh gw tetep suka fotonya. Banyak juga foto yang kata temen-temen gw keren tapi bagi saya gak segitunya. Jadi apa pemaknaan dari foto yang benar? Cahaya yang benar? Bagi saya, hal ini kian hari kian menjadi bias. Lambat laun, saya tak peduli.


Pada akhirnya, daripada saya terombang-ambing oleh kegalauan saya sendiri akan foto yang benar *terutama cahayanya, saya memutuskan : pada akhirnya fotografi adalah taste, suka dan tidak suka. Kebenaran foto sifatnya relatif, karena itu tergantung dari mood dan cara pandang atas prose’s dari foto itu sendiri. Yang paling utama adalah bukan bagus-tidaknya foto itu, tapi keberhasilan mengejawantahkan konsep yang ada dalam otak kedalam bentuk foto yang di eksekusi. Bagus tidak tak jadi masalah toh pada akhirnya suka-enggak. Foto enggak bagus tapi memang begitulah yang diinginkan tidak jadi masalah. Pada akhirnya goal yang kita rencanakan tercapai atau tidak dalam emmbuat foto itulah yang menentukan keberhasilan dari foto. Namanya juga masih belajar, kalo kurang yang next time better, tapi selama udah sesuai dengan apa yang di kepala, itu artinya berhasil kan?


Pemikiran saya pada paragraph di atas juga tercermin pada artikel beliau. Entah, tapi hal ini membuat saya jadi ingin ngobrol lebih jauh dengan beliau…Jadi ingin belajar, jadi ingin berguru…..

0 comments: