Cerita yang bagus~menurut saya

16.34 rah[ma.ut]ami 0 Comments

Artikel ini ditulis karena kehausan otak gw akan bacaan. Selamat menikmati.

17 Agustus 2009- Dalamtahap membaca ‘The Time Traveler’s Wife’

Secara sadar, saya menyukai cerita yang berbau fiksi (yeah, hampir seluruh kisah adalah fiksi), fantasi, petualangan, detektif, atau drama sekalian. Buku-buku itulah yang ketika saya menyebut ‘suka’ berarti masih melekat jelas dalam ingatan dan dapat diingat detail ceritanya. Well, saya bukanlah orang yang menghabiskan hidup dengan berbagai macam literature sastra seperti novel. Novel yang pernah saya baca masih dapat dihitung. That’s why I m not good in word. Referensi saya minim. Mayoritas saya menghabiskan bacaan berupa non-fiksi dokumenter tentang Ardh-bumi, hal yang paling saya kagumi. Biologi, planet, system, adalah beberapa hal favorit saya. Dan (entah ini masuk ke dalam kategori fiksi atau non fiksi) sejarah mitologi—dewa-dewi.

Hal yang paling menarik ketika sedang membaca buku adalah ketika kau terikat dengan ceritanya dan tak dapat membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Bentuk cerita yang paling saya sukai kemungkinan besar adalah cerita yang memadukan sejarah dan mampu memutar balikan fakta yang ada di otak pembacanya. Sebutlah Da Vinci Code dan The Alchemist Trilogy. Kedua cerita itu memiliki latar belakang jaman yang kita tinggali saat ini, namun tetap terikat pada yang dinamakan 1 hal :Masa Lalu. Hal in selalu menarik bagi saya sebagai seseorang yang memiliki kepercayaa pada ‘roda’ (well, ini gak ngaruh sih kedalam bahasan ini). Tapi yang jelas, pemutarbalikan fakta atas identitas agama dan dewa-dewi dan sihir attracts me a lot!

Menurut saya, sebuah cerita dikatakan bagus ketika bukan hanya sekedar imajinasi karangan belaka saja yang bermain diantara spasi tulisannya, melainkan knowledge. Suatu cerita tanpa berlandas pengetahuan hanyalah sebiah karangan bebas yang tidak berbobot. Well, bukan berarti jelek dan tidak ada landasan ilmunya, hanya saja pengolahan yang kurang mendalam menurut saya menjadi sesuatu yang kurang menantang. Itu simpulan saya untuk novel-novel seperti cheeklit-teenlit. Cerita itu bukan hanya sekedar hubungan cewe-cowo atau berlandaskan cakep-enggak-kaya-miskin. Bukan juga seperti ‘diary’ yang berdasarkan kisah-kisah kita lalu dibukukan. Well, ga selamanya hidup kita selalu semenarik itu. Bukannya gak boleh, itu hana sebagai salah satu sumber referensi, buka langsung dijewantahkan dalam wujud cerita. Lebih dari itu. Pendalaman karakter hingga sampai pada rasa ‘karakter ini begitu kuat’ menandakat sang penulis mampu berperan menjadi orang lain.

Kembali kepada kedua cerita tersebut, Dan Brown membawa pembaca pada batas tipis ke-absurd-an sejarah Kristen. Saya selalu tertarik dengan konfrontasi agama ini, karena begitu dekat dengan Islam. Well, ini salah satu sejarah yang gw ikutin dan gw sukai karena ambiguisme-nya. Hahah.. Sedangkan The Alchemist lebih bercertia kepada perseteruan antara alam dewa-manusia dan alam perantara. Hmm..terdengar seperti konsepsi kepercayaan manusia purba yang mempercayai keberadaan dunia atas-dunia tengah-dan dunia bawah. Lebih jauh, cerita ini mensinkretismekan berbagai macam mitologi dunia: Mesir, Cina, Melanesia, Maya, Aztec, Anglikan, Yunani, etc. Banyak hal yang memang telah saya ketahui sebelumnya tentang mitologi ini, dan The Alchemist mencampuradukan semuanya. Honestly, I like it. Dia membuat semua bias, dengan memadukan ilmu-ilmu mitologi itu kedalam 1 wadah cerita tanpa menghilangkan karakter dari masing-masing mitologi: Cerdas. Di Mesir gak ada tuh kepercayaan pohon dunia, itu seinget saya kepercayaan yangada di Eropa dan sekitaran Babilonia. Tapi Eropa tidak memiliki kepercayaan tentang Ashura bukan? Ashura ini di olah lagi jadi bentuk yang lain. Hahay…lovin’ it.

Lain halnya dengan film. Meski sangat menyenangi fantasi, pada akhirnya film yang saya sukai adalah pada inti ceritanya-bukan imajinasinya. Konsepsi awal jalan cerita, itu yang menjadi highlight-terlepas dari nantinya cerita itu akan berkembang menjadi fantasi, action, atau drama. Bahakan se gak-suka apapun itu dengan visualnya (contoh : The Reader) gw bisa mengatakan gw amat sangat menyukai cerita itu. Pengembangan konsep visual memang menentukan, tapi saya kecenderungan memilih film atas dasar inti ceritanya. Presentasenya lebih besar dari hal apapun. In-fact..film animasi belum ada yang segitunya saya favoritkan. LOTR tetep paling keren sepanjang masa. Hahah..

Hei, dalam tulisan ini, saya secara gak sengaja menyadari apa yang saya lihat dari sebuah cerita yaitu: CERITA, baru visual (kalo film). Dan ternyata semua cerita yang saya sukai memiliki kesamaan rantai : ambiguitas suatu hal-keterkaitan dengan masa lalu-sedikit sentuhan ketidaklogisan-analisa akan kejadian-kejadian-yang berdampak pada cerita yang ‘bertualang’. Bertualang disini artinya melibatkan otak kita untuk berpikir-dengan perpustakaan ilmu yang telah ada di otak kita sebelumnya-untuk diolah bersama cerita, bukan sekedar go with the flow.

0 comments: