World Press Photo Seminar: Session 1

15.02 rah[ma.ut]ami 0 Comments

What Make Great Picture: Learning from Cultural Psychology

Speaker:

Dr. Phil. Eric Santosa,

Market Ethnographer & Strategic Planning specialist

Moderator :

Sinartus Sosrodjojo,

Head of Artistic And Photography Division in Media Indonesia, Pannå Institute

Something that can be an inference of this seminar is: life is all about advertising and seeing something in different point of view. Mr. Eric mostly talked about typical photo that make audience feel disturbed emotionally using he preposition of branding. That’s why I told this world was all about advertising and the way of see.

The method of this seminar was mostly like sharing problems: the world press photography winners it elves as the study cases. He verified some theory that works in judging the content of the photograph but also took the audience viewpoints.

From this point, I will use Bahasa so that I can explain it better.

Pak Eric paling banyak membahas mengenai cara pandang mengenai suatu gambar (dalam hal ini adalah foto) sehingga menghasilkan suatu judgement atau penilaian yang membuat foto itu menang dalam “kontes” ini. Bagaimana tingkat kedalaman yang ditinggalkan oleh foto tersebut dan isu atau informasi apa yang terkandung di dalamnya.

Belau mengatakan, foto-foto yang berhasil di World Press Photo adalah foto-foto yang menarik audience untuk menyelami isi dari foto itu sendiri lebih lanjut. (Great pictures are aesthetic, drawing viewer, urging them to learn more about the story the picture tells.) Tentang kejadiannya kah, tentang subjeknya kah, apapun. Mereka tidak akan meninggalkan foto ini tanpa mengetahui lebih lanjut ceritanya. Story telling sendiri merupakan seni penyelewengan terhadap hal hal yang diterima masyaraqkat pada umumnya (Storytelling is an art of violation of canonical world of the audience). Intinya adalah bagaimana menyingkapi suatu cerita dari sisi yang lain, bahkan mendobrak apa yang selama ini terdapat stereotip di benak masyarakat. Buatlah paradoks, buatlah ironi.

Foto-foto yang memiliki kecenderungan untuk memaparkan seluruh informasinya secara blak-blakan dalam visual justru mengakibatkan kurangnya “bound” antara audience dengan foto oti sendiri. Untuk itulah, pengunjung world press photo pastinya akan membaca caption dari tiap-tiap foto untuk mendapatkan info lebih lanjut. Dapat dikatakan tiap foto memberikan informasi yang belum lengkap dan kelengkapan itu ditangkap audience sebagai suatu kebutuhan akan informasi lebih atau spekulatif dan berimajinasi tentang kemungkinan kondisis yang terjadi. Hal itulah yang mengakibatkan foto ini memasuki fase lebih jauh di otak karena otak terangsang untuk lebih interaktif terhadap foto ini dan bukan sekedar melihat saja. —menutupi sebagian, what an ads concept

Selain itu, kecenderungan foto jurnalistik saat ini adalah memperlihatkan kekerasan : darah, perang, penganiyayan, dengan tipikal yang sama. Sering kita temui foto yang sama pada beberapa media pemberitaan. Hal ini dikarenakan ketika mereka menemukan suatu kejadian, mereka berbondong-bondong memotret hal itu, yang berakibat pada foto yang kurang lebih sama baik isi ataupun gambarnya. Kecenderungan untuk melihat sisi yang berbeda itulah yang jarang terjadi.

Tapi ketika kita melupakan itu semua, darimana kita tahu bahwa gambar itu memiliki pemikiran mendalam atau tidak? Tes sederhana yaitu you can/want/never bore to see the photos once, twice, again, and over again, whether it contain positively or negatively. Melihat dengan postitif maksudnya kita menyukai foto yang ditampilkan, sementara melihat dengan negatif mungkin kita akan merasa “foto itu jelek banget sih,” but you will talk about it over and over again. *mungkin mirip dengan saking sebelnya kita ke iklan ron car :p

Selanjutnya dijelaskan cahwa pada dasarnya, ada suatu inti cerita dasar dari setiap isu-isu yang diangkat. Ibaratnya, ini merupakan premis mayor, tema besar, moralitas utama yang diangkat di world press photo. Kesemua hal itu dinamakan archetype.

Archetype dapat diartikan sebagai pola dasar, paradigma, prototype, dasar pemikiran , yang kemudian nantinya diterjemahkan kedalam elemen-elemen dan eksekusi visual. Archetype kemudian dibagi menjadi 12 :


1. Innocent

2. Orphan

3. Warrior

4. Caregiver

5. Seeker/explorer

6. Destroyer/outlaw

7. Lover

8. Creator

9. Ruler

10. Magician

11. Sage

12. Jester/fool


Suatu step yang terjadi jika karya itu bagus : engage then detail. Untuk mencapai tahapan itu, ada beberapa cara, salah satunya adalah dengan Juke Exposition. Juke Exposition adalah mengenai objek itu pas (fit) atau tidak satu dengan lainnya. Contoh mudahnya, objek utamanya dengan latar belakangnya, dst. Juke exposition didapatkan dengan memainkan 5 hal : aktor (Actor), aksi (action), intensi (intention),benda/peralatan (instrument), dan tempat (scene). Barulah dari sana kita bermain canonical type that can be violated.

Diskusi mengangkat mengenai persetujuan atau penolakan atas gambar-gambar yang cenderung lebih menarik dan segi kelayakan foto sebagai pemenang World Press Photo. Beberapa peserta mengemukakan pada dasarnya kecenderungan mereka (juri) memilih pemenang adalah pada isu yang subjektif. Sebgaia contoh, perang Amerika akan selalu menganggap tentara Amerika sebagai subjek yang menarik sementara bagi masyarakat Indonesia ini hanya tetntang tentara amerika saja, tidak ada ketertarikan emosi lebih jauh, serta bagaimana World Press justru diharapkan membahas potential issue yang mungkin pada saat itu belum terlalu terangkat namun pada saat ini diangkat secara luas (contohnya Global warming). Baik pertanyaan maupun tanggapan yang diberikan oleh moderator maupun peserta seminar memiliki muatan masing masing sehingga jawaban atau tanggapan atas foto-foto tersebtu betul betul menjadi suatu acknowledgment dalam seminar itu sendiri.

Meski dengan cukup panjangnya diskusi dalam topik seminar kali ini menyebabkan tidak dibahas lebih detail bahasan terakhir, yaiu mengenai teori psikologi tentang archetypal narratives that move people, paradise lost. Sayangnya saya tidak memotret bagan yang ditampilkan di depan, dan tak pula menemukannya di internet. :(

Mungkin 1 hal terakhir yang dipesankan oleh beliau, kekuatan jurnalistik masa kini ada di tangan kita semua. Kita dapat berkontribusi dengan segala yg kita punya: kamera, hp, pocket camera. Itulah yang dinamakan citizen journalistic.

Consequently, world press photo is an art of Journalistic photography: a synthesis of giving information by involving the audience into a restraint situation and how to take picture in original style in difficult circumstances, different from any other stereotype. A valuable seminar with competent speaker, proficient moderator, and formidable audience. Salut!

.rahmautami

0 comments: