Jakarta Fashion Week 2010/2011 : The Signature

12.37 rah[ma.ut]ami 0 Comments

Jumat kemarin, 12 November 2010, merupakan hari terakhir pelaksanaan Jakarta Fashion Week 2010/2011. Liputan yang saya angkat (dan hanya angkat) mengenai Dewi Fashion Knight show yang juga sekaligus official closing dari JFW tahun ini. Dewi Fashion Knight ini memang merupakan ritual rutin sejak 2 JFW sebelumnya. Kali ini Dewi Fashion Knight mengambil tema Style Spectrum.
Diwakili oleh 5 orang desainer terpilih : Tex Saverio, Ari Charisma, Stella Rissa, Kiata Kwanda, dan Priyo Octaviano, the Style Spectrum merupakan bentuk apresiasi pada perbedaan, karakter, dan dinamisasi desainer. Ni Luh Sekar (editor in chief Majalah Dewi) mengatakan kelima desainer ini dipilih karena karakternya yang kuat yang diimplementasikan fashion dalam gaya yang kaya sehingga membebaskan spirit perempuan dalam berbusana. “Keindahan perbedaan itulah yang kita rayakan  tahun ini,” ungkapnya pula.

Left to Right: Tex Saverio Kiata Kwanda (gak keliatan), Ali Charisma,
Ni Luh Sekar, Stella Rissa, Priyo Octaviano
Kali ini, untuk pertamakalinya saya akan membahas sedikit *yeah, sedikit, karena saya masih newbie* tentang fashion yang diperagakan di atas catwalk. Yups, JFW ini jadi kayak semacam pendidikan kilat buat “getting know Indonesian Fashion” buat para awam, maupun para expertise, bagi buyer, maupun bagi desainer. JFW itu pengayaan. But before that, I need to tell something that will be written in the end of this post. So, keep reading :)

Bidding by Miranda Gultom dan ibu2 
Sebelum dimulai, DFK didahului oleh lelang fashion peduli. Terdapat 3 baju yang di lelang: Lennor dari Lenny Agustin, Carmanita, dan Oka Diputra. Baik pakaian Oka maupun Lenny terjual dengan angka 6 juta rupiah (dengan opening bid 3 juta dan interval tiap 10%). Sementara desain dari Carmanita berhasil menyumbang 30 Juta *gile* untuk Fashion Peduli ini. Dua wajah familiar mewarnai tarik-tarikan biding dari baju carmanita ini: Manohara *dan dia sudah sangat kurus sekarang!* sebagai pemenang biding, dan Miranda Gultom, mantan Gunbernur Bank Indonesia. Huwooh.

Baju 30 juta *_*
Jika dilihat, peragaan Style Spektrum ini memiliki alur yang (sebetulnya) simple: from the most wearable till the hardest to wear. Tiap desainer memiliki 10 koleksi yang ditampilkan, kecuali Tex Saverio yang hanya menyajikan 8. Loh, kok? Mau tau? Yuk..

Ali Charisma


Mengambil konsep war culture, Ali Charisma menampilakn intrikasi Kriya Nusantara. Inspirasinya kali ini datang dari Jawa, khususnya Jogjakarta dan Belanda dan disajikan dalam balutan sutra Thailand, satin, organza, dan renda.


To be honest, yang saya perhatikan utama selain bajunya adalah rambutnya. Kenapa? Perhatiin deh, kita bisa membuat tebak tebakan “kepala siapakah itu”? Yang saya cermati yang jelas ada bentuk topi eropa (macam topi Cornellius gitu), rambut keriting pipa-nya eropa, topi Judge Bao (itu loh, hakim film cina jaman baheula). Mau ikutan tebak-tebakan?

Tebak Rambut Siapa!



Stella Rissa


FEMINIM. Satu kata itu betul betul menggambarkan rangkaian desain kali ini. Terlepas ada beberapa yang bergaya byish, saya yakin siapapin yang mengenakan karyanya akan terpancar aura wanitanya. Sungguh cantik. Karya Stella Rissa memang mengambil tema Woman’s Posessions yang (katanya) menggunakan pendekatan dekonstruktif dan arsitektural. Saya bilang “katanya” soalnya saya gak ngerti dimananya :P Kalau kata Dita, karyanya stella itu selalu meleka cantik di tubuh, bahannya, potongannya. Well, gak heran sih. It really really DID! Salah satu karya yang menyihir saya di show kali ini.
Stella menganalogikan Women’s possession kedalam suatu proses, dimana wanita tersebut baru bangun tidur, hingga jenjang pernikahan. Mungkin penahapan yang aneh, yet she described it verry well in the show.
Beautifully sexy in good way ;)


Secara alur show, selain menekankan pada tahapan tadi, Stella menyimpan 2 desain di akhir untuk disajikan bersamaan : Pernikahan. Konsepnya memang kedua mempelai yang berjalan. Tapi nendang banget dah cara penyajiannya juga. Very love the design indeed. Kalo kata BBM orang sebelah saya *gak sengaja kebacaa*, desainnya sudah jauh lebih dewasa. Well done stellarissa!

Kiata Kwanda

FYI, Kiata Kwanda itu dari awal sudah mempunya platform khusus dalam mendesain karya-karyanya: dari SEPOTONG KAIN saja. Yup, berbeda dari desainer pada umumnya yang mengeksplorasi model dari potongan pola, Kiata Kwanda justru tidak terdiri atas potongan pola, melainkan 1 helai kain panjang yang telah dipotong sedemikian rupa lalu dibentuk menjadi pakaian. Kalau kata Ni Luh Sekar, Kiata sudah punya fanatik fansnya sendiri. Kalau kata saya, Kiata Kwanda itu sekte :p




So, masih dengan platform yang sama, kali ini Kiata Kwanda memberikan sentuhan yang sedikit berbeda. Kali ini, kainnya 2, tapi potongannya sama. Dua kain ini diwujudkan dalam bentuk depan belakang. Mengambil tema Pure Line, desain desain Kiata betul betul menggambarkan tema ini dengan lugas. Simplicity desain dan detail pengerjaan adalah kekhasannya. Menggunakan material sutra hitam sebagai palet utama, Kiata memberikan sedikit aksen dibalik balutan kemurnian warna hitam.

Priyo Octaviano

Ini bukan show pertama Priyo di Jakarta Fashion Week 2010/2011. Sebelumnya Priyo hadir di panggung BNI Cita Tenun Indonesia: Cita Warna Bumi sriwijaya (LIINK) pada hari Senin (8/11/10). Di Dewi Fashion Knight malam ini, Priyo mengangkat tema The Glory. Priyo yang religius menekankan bahwa kehidupan perempuan tak melulu dilingkupi kebahagiaan. Disana juga ada kesedihan perjuangan dan cobaan hidup. Disanalah dualisme wanita terlihat. Oleh karena itu, Priyo mendeskripsikan hal ini kedalam detail yang berbeda karakter untuk bagian depan baju dan bagian belakang baju, woll & sutra vs gypsum. Yups, gypsum alias gips, yang biasa buat tangan patah atau bikin patung. Tone dari karyanya masih modern dan feminim. Sementara pemilihan warna putih atau polos merupakan bentuk kemurnian, kesucian, sebagai bentuk kembali ke pada-Nya.
Depan

Belakang
Bagi saya karya Priyo kali ini sangat detail. Warna yang sama dan cenderung putih hanya berbeda tint tidak kemudian membuat pakaian-pakaian ini menjadi monoton. Details play the rule here! Dan detailnya gak main main loh…

*untuk karya priyo ini, saya mupeng bgt sm baju terahir..

The last, the most georgeus one, Tex Saverio.

Desainer muka manga (komik jepang) ini *oh, yeah, mukanya super duper tipikal karakter ideal cowo di manga* menyajikan 8 desainer yang . . . . . . .  (indescribable). Mengusung tema Le Glaçon atau The Icicle, saya hanya bisa bengong ngeliat shownya. Bukan bengong gak ngerti, tapi bengong super duper takjub. Tex menggunakan material yang berbeda untuk tiap helaian pakaian yang dia buat. Gak hanya kain, dia bahkan menggunakan teknik laser cutting. Wohaa. ‘Hanya’ menyajikan 8 desain, lewat show ini, dibungkam deh yang protes kenapa cuma 8. Kelewat KEREN!






Suasana show diwarnai hembusan dry ice dan AC super dingin. Hmm, memang sengajakah si AC ini biar makin in touch sama suasana es yang dingin dan kontradiktif? Ketika desain ke-dua nya mulai berjalan di ataas catwalk, hanya 1 yang saya pikirkan: Queen of Ice, Narnia. Dan makin kebelakang queen ice nya makin jahat. Oh I do really hope that he become the wardrobe of the heollywood film like Narnia… His design is a way tooooo cooool! (harfiah dan non harfiah :P) Dan desain ini betul-betul membuka mata saya bahwa yang tadinya bagi saya sebuah desain itu harus wearable dan usable itu salah. Desain yang mungkin gak wearable di kesempatan-kesempatan ordinary memang BUKAN untuk itu. Tapi bisa buat film, teater, dsb. *Maafkanlah kebodohan saya ini yang baru ngeh tentang hal ini sekarang.

The Magnificent Ice Queen


Epilog

Merayakan kekayaan perbedaan.

Apa makna 1 kalimat itu? Tanpa melihat konteks yang telah saya tulis sebelumnya, maka mungkin bahkan anak kecil sekalipun akan memikirkan 1 kata: Indonesia. Bahkan tiap perbedaan dapat dibuat pengaktegorisasian yang masing-masing dari itu memiliki perbedaan perbedaan lagi. Let say, perbedaan kuadrat. Jika Indonesia merayakan perbedaan, akan berapa lamakah?
Imagine. Jika tiap kategori perbedaan dirayakan selama 1 hari, berapa lamakah waktu yang kita butuhkan untuk merayakan perbedaan? Sebutlah (secara umum yah) perbedaan bahasa, perbedaan suku, perbedaan wilayah, perbedaan pulau, perbedaan bentang alam, perbedaan baju daerah, perbedaan kain daerah, perbedaan rumah adat, perbedaan kebiasaan (yang tiap kebiasaan dapat di pecah menjadi perbedaan kecil lagi), perbedaan agama, perbedaan……
Kita gakan habis dalam diversity. Baik itu bio diversity, culture diversity, dan sebagainya. Apakah setahun cukup? We don’t know yet. Ada yang bisa membantu menyebutkan semua? Mana tau dapat menghasilkan sesuatu.

So, perbedaan adalah identitas. Jangan disama-samakan dan jangan menyerupai. Tiap-tiap hal ini bukalah sidik jari,yang memang berbeda tapi kita tidak dapat melakukan perubahan maupun penggubahan atasnya. Perbedaan ini adalah tanda tangan, signature, yang goresan tiap orangnya berbeda, tarikan garisnya, bahkan tintanya, tapi intinya, sang penanda tanganlah yang memegang penanya. Kita memiliki kekuasaan atas semua goresan. Ini artinya kita memiliki kekuasaan penuh untuk mengolah, dan tinta kita adalah keberagaman yang kita bisa pilih apa, sedangkan pena beserta matanya adalah bentuk dari fashion, mau dituangkan dengan sentuhan apa? Dan menghasilkan tanda tangan, orisinil bagi tiap orang, dan menghasilkan suatu perbedaan baru lagi. What a diversity!
Dengan begitu banyak variasi tinta yang dimiliki Indonesia, dan berbagai pena dan mata pena yang dimiliki oleh para fashion designer , maka beralasankah jika mereka menghasilkan karya yang serupa? Maka keserupaan itu datangnya adalah dari kemalasan otak seseorang untuk berpikir dan keserupaan adalah pembodohan. Well eventhough sometimes designer/someone thing about the same thing, the implementation should be different.

The way to be richer is by creating more and more diversity. Perbedaan yang menghasilkan perbedaan. Perbedaan kuadrat. 220 juta tanda tangan orang Indonesia bahkan bisa melakukan tandatangan yang berbeda jika kertasnya beda, penanya beda, atau waktunya beda. Oleh karena itu,jangan malu atau malaas membuat perbedaan kuadrat ini. Karena itulah emas abadi yang kita miliki.

Jakarta Fahion Week hanyalah salah saty bentuk implementasi dari transformasi budaya, yang menjaga budaya itu sendiri tetap lestari. Budaya bisa lestari jika terus diketahui, terus digunakan, dan terus dikembangkan. Masih banyak peluang pengembangan dalam bentuk lain. Terimakasih kepada Jakarta Fashion Week 2010/2011 yang makin meneguhkan identitas fashion bangsa ini. Teruskan perjuangan, kembangkan Indonesia. Maju terus industri fashion Nusantara!

0 comments: