Jakarta Fashion Week 2010/2011: The Eloquent Modernity in Traditional Approach

04.57 rah[ma.ut]ami 0 Comments

Sorry for my late post and the "acakadut" previous unedited post! (I was writing it in the middle of the show using my phone *_* *tepar baru sampe rumah jam 1* 



Bicara tentang judulnya, The Eloquent Modernity In Traditional Approach, maksudnya adalah hari ini saya melihat suatu keberhasilan besar dari para desainer (yang saya saksikan shownya) dalam mengemas gaya fashion modern dengan menggunakan kain-kain tradisional Indonesia sebagai bahan baku utamanya. Sentuhan modernnya sangat terasa! Tapi yang hebatnya, itu kain songket/tenun/blongsong yang biasa kita lihat loh (dengan sedikit modifikasi)!


The Show


Peragaan pertama dimulai dengan introduksi yg SUPER lama (baca: sambutan) sebelum akhirnya peragaan dari 14 muse Yayasan Jantung Indonesia (YJI)  *kyaa susan bachtiar*. Bagi yg (mungkin) gak tau, mereka meninggalkan tent setelah parade muse DAN sayang sekali mereka melewatkan the real show of Ari Saputra, parade 46 busana yg terinspirasi oleh candi Borobudur. y the way,hari ini dresscodenya itu touch of red, tapi yg saya lihat ini sih totally RED. JFW was so totally in red glam. 
Red Crowd!
Sebelumnya saya ingin beropini mengenai makna logo YJI dari sudut pandang seorang desainer. saya tersentil karena sambutan yang diberikan oleh   Ibu Ketua 1 YJI.  Beliau mengatakan bahwa simbol dari little red dress adalah bahwa dengan warna merah wanita harus lbh waspada terhadap penyakit jantung. kalau dari sisi saya, baju selain merupakan asosiasi dari  wanita sendiri, juga ada faktor penekanan kedua dimana penyakit jantung itu sesungguhnya sangat dekat dengan wanita, apa lagi dengan semakin banyaknya perokok wanita di Indonesia. Seperti baju, next to our skin, adalah bentuk dekatnya penyakit ini dengan kaum wanita. Cmiiw


Dibuka dengan lantunan lagu yang merdu....

The Muses (?)

Mengenai peragaannya sendiri, karya yang ditampilkan kurang lebih 46 busana yang (nampaknya) dibagi ke Selain scoring (lagu pengiring)  yang mantap, desain desainnya sejujurnya saya sangat suka. Bener-bener kerasa sentuhan baik modern, maupun Indonesianya. Gak cuma batik, Ari Saputra juga menggunakan elemen aksssoris dan bahkan dari baju tradisional itu sendiri. Bener-bener ngebuka hal baru buat saya. KEREN!
Sebegitu terpananyakah?
Peragaan selanjutnya, BNI Cita Tenun Indonesia : Cita Swarna Bumi Sriwijaya, molor dari jadwal yang telah diberikan. Peragaan busananya sendiri baru dimulai sekitar pukul 21.30 dan berakhir pukul 23.00. Terdapat  10 desainer yang menampilkan kreasinya di BNI CTI dengan total 90 busana yang ditampilkan dari Bumi Sriwijaya disini. Sebutlah Chossy Latu, Era Soekamto, Oscar Lawalata, Tayada (merupakan gabungan dari 3 orang desainer), Priyo Octaviano, Sebastian Gunawan, Stephanus Hamy, Oka Diputra, dan Denny Wirawan. Kain tenun yang dipergunakan meliputi kain blongsong dan songket. Dari mulai koleksi yang sangat kental nuansa Eropa, lenggak lenggok para model cilik dari Bubble Girl, hingga karya yang *cukup* tribal dari Priyo Oktaviano. Koleksi kali ini juga menampilkan busana untuk berbagai kebutuhan : muda, dewasa, pria, anak-anak, casual, hingga formal. Sungguh membuka wawasan inovasi kain tradisional! *Meen, itu baru dari tenun loh, belum kain-kain tradisional Indonesia lainnya! Bayangkan....
Ada Sammy!


Melihat peragaan busana pria di atas (yang dipakai Sammy) sekaligus menikmati lagu Tanah Air dari Rio Febrian diiringi biiola *damn, Ini lagu nasional favorit saya dan selalu merinding dengernya* saya jadi berpikir lebih jauh. Entah sudah ada atau belum, tapi melihat vest sang pemain biola, I Wonder if It is also made from tenun. Mungkin bagi sebagian orang memakai rancangan baju seperti foto diatas is a little to much. So, penyelesaiannya adalah a touch of culture, seperti dasi (udah ada tuh kan dasi batik), vest, saputangan. Hmm, jadi ingin ngasih tantangan ke para pria berjas: show ur Indonesia! Haha.. Jadi dengan ini pula mereka gak hanya kepikiran bahwa untuk memperlihatkan budaya HANYA dengan kemeja batik saja.

By Priyo Octaviano. Tribal gak sih?


Dan, bolehkah saya menyebutkan, makin cinta(kuadrat) deh sama Indonesia :P Kayany amakin hari saya makin gak ngerti ada orang yang gak manfaatin potensi kita ini. Terlalu luarbiasa untuk disia-siakan. Dan jangan salah, tiap karya hasil pemanfaatan potensi ini adalah master piece :)
Pers nya pada heboh :))



BNI Cita Tenun Indonesia


Kiri-kanan: Ibu Intan (BNI) - Ibu Intan (CTI) - Chossy Lattu



By the way, mengenai BNI CTI sendiri, BNI mengembangkan Kampoeng BNI, yang merupakan kampung-kampung di daerah Sumatra yang dibina oleh BNI, dari mulai pendanaan, hingga workshop. Permasalah yang terbilang serupa dengan Oscar Lawalata juga dihadapi oleh Chossy Lattu dan tim BNI CTI : komitmen. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya keterbinaan hubungan antara masyarakat kampung Indralaya, Sumatra Selatan dengan Chossy Lattu-BNI CTI kian membaik. Meski belum dapat dikatakan sebagai penghasil tenun terbaik, peningkatan kualitas, baik kualitas kerja maupun kualitas kain, dari para pengrajin selama setaun binaan ini mengalami kenaikan yang pesat. BNI sendiri terbilang total dalam kerjasama ini, terbukti dari banyaknya tim yang diturunkan dan servis yang diberikan berdasarkan hal yang diungkapkan Chossy Lattu. Oleh karena itulah, kampung binaan BNI masih terbatas jumlahnya.


Mengenai inovasi kain tenun yang diajarkan selama workshop difokuskan pada teknik kerapatan benang, pewarnaan, dan kualitas dari penenun itu sendiri. Dengan output yang berbeda (sebagai material untuk interior kah atau untuk pakaian kah), maka pembuatan kain pun direncana sedari awal pembuatan. Marketing pun sedikit diajarkan dan dibantu di workshop ini, selain dalam hal penjualan, BNI mengajarkan juga mengenai efisiensi benang yang dapat menekan biaya produksi 30-60%. 


Chossy Lattu menekankan bahwa pengrajin adalah menenun BAHAN, bukan menenun kain/selendang.


Hal yang ditekankan oleh Chossy Lattu adalah mengajarkan menenun BAHAN, bukan menenun kain/selendang. Karena jika para penenun tetap mempertahankan pola pikir ini, maka kain tenun tidak akan sebegitunya praktis untuk diaplikasikan ke bentuk lain. Selain itu, tim BNI CTI dan Chossy Lattu juga mengembalikan faedah pewarna alam sebagai cara pewarnaan untuk benang, selain karena keamanan dan keasliannya, untuk memenuhi sebagai produk yang berstandar Internasional, maka produk tersebut pun harus eco-friedly. Meskipun demikian, pengembangan warna-warna lain yang diluar warna asli dari kain tenun seperti warna pastel juga diajarkan demi memenuhi usability dan kebutuhan pasar. 


Satu lagi, sebetulnya yang diajarkan di workshop ini bukanlah hal baru, tapi mengingat kembali dari cara dahulu *kinda similar with Oscar*. Yang dilakukan terhadap tenunnya sendiri adalah penggubahan : motif lama dengan skala, warna, dan layout yang berbeda.


Yang menarik dari rangkain workshop ini adalah selama setahun, kampung pengrajin tidak boleh mengeluarkan hasil pelatihannya dulu keluar. Bukan sok eksklusif atau apa, tapi BNI CTI sendiri menekankan bahwa mereka (pengrajin) harus sudah mengerti dan memahami secara keseluruhan workshop sebelum diaplikasikan. Dengan adanya curi-start, dikhawatirkan kain yang dihasilkan tidak sesuai standar. dan bagusnya lagi, setelah 1 tahun, BNI siap melepas para "ambassador" pengrajin tenun ini dan membebaskan jika ada pengrajin lain meniru sistem dari workshop ini. Yeayy! Ilmu memang untuk semua, bukan eksklusifitas! Salut!




Terakhir, 


Mengenai semalam, kawan-kawan pers pada riuh sekali karena acaranya bisa dibilang ngaret banget (bayangkan, baru mulai ketika harusnya jam acara sudah selesai!) dan nampaknya panitia pun juga sudah terbilang cukup lelah (yang terlihat cukup lelah) mengalami situasi yang serupa, apalagi dengan adanya beberapa orang pengunjung mencoba keluar ketika acara sedang berlangsung. Saya dan Yuri (peserta blog lainnya) menyebutnya, "Hap, lalu ditangkap" - ketika ada pengunjung yang mau meninggalkan bangkunya, gak sekedar didatengin tapi langsung ditarik ke pinggir! :D. 


Selain itu yang mengganjal adalah penyebutan berulang dari sumbangan beberapa oknum ke Femina Peduli (nampaknya itu berupa rekaman). Selama 2 hari pelaksanaan JFW, dana yang terkumpul telah mencapa 850 juta. Meeen, Its HUGE. Tiga hari doang booo. Tapi intinya, bukankah sepatutnya donasi itu tidak diumbar yah? Boleh si di mention siapa aja yang ngasih, tapi gak usah pula sih jumlahnya. Nampak show off gimanaa gitu.. But anyway, semoga tembus ber M-M deh si Femina Peduli ini, demi meringankan beban para korban di Mentawai, Wasior, dan Merapi. I


By the way, salut buat ketegasan panitia terhadap semua pelaksana dan yang menghadiri Jakarta Fashion Week 2010/2011 ini. Dibilang galak, galak deh, tapi itu baguuus :) Semangat terus buat panitia. Semoga besok-besok acaranya bisa lancar dan on-time biar kita semua bisa sama-sama istirahat. Viva JFW 2010/2011!


*Buat full photo report di blog sebelah nampaknya pending dulu. Tepar sayah nyah    /(*_*)/
*Dalam 2 hari ini saya belajar banyak banget! Senang! *meski tepar*


*tribute to panitia (click to enlarge)

Menata kotak-kotak dari dapur coklat saat BNI CTI Show.


Everyone was in a rush. Smangat pak!
Angkut sana, angkut sini...

0 comments: